Rss Feed
  1. Mencintai Kesendirian

    Minggu, 31 Mei 2015


    Mencintai kesendirian, mencintai kesunyian.

    Adakalanya kepikukan itu tak membawaku pada ketenangan. 
    Adakalanya bersama itu mengarah pada kemudharatan.
    Ada saatnya sendiri lebih aku butuhkan, untuk menemukan sisi diriku yang lain.
    Ada masanya sendiri aku perlukan untuk lebih mengenal Tuhan, yang mungkin selama ini seringkali aku kesampingkan.

    Mencintai kesendirian adalah suatu kehormatan.
    Terkadang sendiri itu lebih aman, lebih menyelamatkan.
    Daripada harus berdua-dua dengan seorang yang bukan siapa-siapa.
    Sungguh, kerjaan iblis lebih sulit jika kita memilih untuk kukuh. Pada kesendirian.
    Sungguh, tidak akan sia-sia yang bertahan dalam kesendirian sampai saatnya tiba.
    Saat dimana Tuhan melihat kita sudah cukup pantas untuk berdua.

    Cintailah kesendirian, selagi bisa.
    Siluet diluarmu memang menyilaukan. Tapi kukuhkan hatimu, bahwa mencintai kesendirian tidak akan mengecewakan.
    Akan ada saatnya nanti orang-orang yang mencintai kesendiriannya akan saling dipertemukan dan dipersandingkan.
    Ingat, Tuhan Maha Adil.

    Menyendirilah, dan berubahlah menjadi seekor kupu-kupu dari gatalnya ulat bulu. 
    Karena dimanapun kupu-kupu berada, dia akan selalu terlihat cantik.

    Selamat mencintai kesendirian. :)

    17.03 pm. 18 days left before Ramadhan.

  2. Belajar Mendengarkan

    Sabtu, 30 Mei 2015



    Adakalanya kita perlu belajar untuk mendengarkan. 

    Mendengarkan cerita. Nasihat-nasihat baik. Pemahaman baik. Ilmu yang baru. Dan segala hal yang bisa (dan perlu) kita dengarkan.

    Seringkali orang-orang menganggap, bahwa terampil berbicara adalah segalanya. Terlebih saat ucapan kita mampu menyihir ratusan bahkan ribuan orang. Sehingga orang berlomba-lomba untuk meningkatkan keahlian berbicara, khususnya trik bagaimana agar pembicaraannya mampu untuk memikat perhatian massa.

    Tetapi ada satu hal yang sepertinya terlupa dan terlewatkan. Tentang perkara mendengarkan. Kita semua tahu bahwa telinga kita berjumlah sepasang yang artinya jauh lebih banyak dari bibir kita yang hanya satu. Lalu terbersit-lah sebuah pertanyaan. Apa maksud Tuhan menciptakan-nya sepasang, sedangkan mulut kita hanya ada satu. Apakah (hanya) sebuah kebetulan?

    Ternyata tidak.

    Tuhan ingin menegaskan kepada kita, bahwa perkara 'mendengarkan' harus diletakkan diawal. Setelah mendengarkan dengan baik kelak akan muncul pemahaman. Barulah kita boleh berbicara secukupnya. Ya, secukupnya dan seperlunya saja. Setidaknya kita kelak mampu mempertanggung jawab-kan kata-kata yang pernah kita ucapkan. 

    Jogja. Malam yang menghangat dipenghujung bulan Mei.




  3. Putra : Ibu, sepertinya Nanda menyukai seorang perempuan. 

    Ibu : (mengusap kepala anaknya) Apa yang membuatmu bisa jatuh hati kepadanya Nak?

    Putra : (tersipu malu) Emm... Nanda mengagumi kepribadiannya Bu. Sebenarnya Nanda mengenalnya belum lama, akan tetapi ada hal lain yang membuatnya berbeda dengan perempuan lainnya.

    Ibu : Ah, ibu tenang rasanya mengetahui putra ibu mengagumi seorang perempuan bukan hanya karena parasnya.

    Putra : (menatap heran)

    Ibu : Karena keindahan paras kelak akan memudar Nak. Tapi keindahan pribadi, ia akan dibawa sampai mati. Tapi ingat, kau harus hati-hati Nak.

    Putra : Hati-hati kenapa Bu?

    Ibu : Hati-hati terhadap sikapmu sendiri. Jangan sampai anakku menyukai seorang perempuan hanya untuk diberi harapan-harapan. Kamu harus tahu Nak, makhluk bernama perempun itu perasaannya sangat halus, halus sekali. Sedikit saja kamu salah berucap atau bersikap, itu akan membekas di hatinya selamanya. Jika kamu sudah berani untuk menyukai anak perempuan orang dan ingin menyampaikan perasaanmu padanya, maka kamu harus bertanggung-jawab terhadap kata-katamu.    

    Putra : Lalu apa yang harus Nanda lakukan Bu? 

    Ibu : Jika kamu memang benar-benar ingin mengungkapkan rasa sukamu, ungkapkan itu dihadapan ayah dan ibunya. Tapi jika kamu hanya ingin memainkan perasaannya, ibu tidak akan pernah ridha. Apapun bentuk hubungan itu. Ibu juga perempuan Nak. Dan perempuan manapun itu butuh kepastian, bukan harapan. 

    Putra : (Mengangguk-angguk)

    Ibu : Jadi, kapan Ibu dan Ayah bisa mengantarmu ke rumah calon menantu Ibu?





  4. Apa hal yang paling membebani batin dan fikiran-mu saat ini? 

    Tuntutan. Perasaan yang disimpan diam-diam. Amarah. Target. Kesedihan. Kerinduan. Keinginan. Sakit hati. Atau hal-hal lain yang berhasil menyita fokus fikiranmu dan meminta sebagian hatimu.

    Ternyata banyak ya. Mengapa tidak kau coba untuk mengurainya satu-satu. Rasakan dan fikirkan matang-matang. Pantaskah ia kau pelihara dan bertengger manis dalam hatimu. Seberapa pentingkah hal itu bagi hidupmu. Jikalau kamu (mau untuk) melepaskannya, alangkah tenang kehidupan yang kau jalani.

    Tentang target. Betulkah target itu telah menyita seluruh perasaanmu? Apakah ia berpengaruh terhadap pencapaian kehidupan setelah kematian? Ah jangan-jangan itu hanya target pencapaian hitung-hitungan kehidupan. Jika memang target kehidupan itu mampu mendekatkanmu pada Pencipta-mu maka simpan saja ia dalam hati dan fikiranmu. Jika tidak, lebih baik kau lepaskan saja.

    Tentang perasaan yang disimpan diam-diam. Adakah kau tahu kepastian akan penjagaan perasaanmu ini akan selaras dengan harapanmu di masa depan? Jika benar adanya, alangkah beruntungnya dirimu. Tidak sia jika kau harus mati-matian menyimpan perasaan dalam diam dan akhirnya kau berhasil dipersandingkan. Tapi ada yang perlu kau ingat. Ini hanya asumsi, dan sebagian asumsi itu tidak benar. Sudahlah, jangan suka bermain-main dengan hal yang serba tidak pasti. Lepaskanlah. Dan rasakan, betapa banyak bagian dari hatimu yang akhirnya terasa sangat lapang. 

    Tentang Amarah. Adakah ia disebabkan pada hal-hal yang memang pantas untuk kita gambarkan dengan kemarahan. Tentang dibunuhnya jiwa-jiwa tidak berdosa di bumi Palestina misalkan. Jika memang karena alasan semisal itu, kau boleh menyimpan amarah. Tetapi jika amarahmu adalah tentang hal-hal (sepele) seperti iri, dengki atau cemburu misalkan. Ah, lebih baik segera dilepaskan. Jika hatimu itu ibarat sebutir apel, amarah seperti itu ibarat ulat yang kelak akan menggerogoti keindahan hatimu. Sebelum hatimu berlubang disana-sini, lebih baik segera ambil langkah antisipasi. Lepaskan. 

    Tentang kerinduan. Semoga objek kerinduanmu tertuju pada hal-hal yang memang pantas (untuk) dirindukan. Seperti perjumpaan dengan Tuhan-mu, Nabi, orangtuamu, sanak-saudaramu dan sahabat-sahabat baik. Bahkan hal-hal baik seperti ini perlu kau lepaskan dengan cara berdo'a dan mendo'akan. Sedang, untuk hal-hal yang (memag) tidak pantas kau rindukan, maka lepaskanlah dengan membuangnya jauh-jauh dari hatimu.

    Tentang hal-hal lain yang berhasil menyita fokus fikiranmu dan meminta sebagian hatimu. Lepaskan sajalah. Kau tahu, persoalan 'melepaskan' itu tidak terlepas dari 'meng-ikhlaskan'. Melepaskan memang bukan pekerjaan mudah. Karena ketika kita melepaskan 'sesuatu', itu artinya kita sudah siap untuk merelakan. Dan yang terpenting ialah meng-ikhlaskan.

    Selamat melepaskan. Selamat memiliki hati paling lapang. :) 




  5. Mencintai Badai

    Kamis, 28 Mei 2015


    Saat itu kita sedang duduk di shelter bus, menunggu trayek yang tak kunjung tiba. Padahal sudah hampir satu jam kita menunggunya. Tiba-tiba saja petir menyambar, dan hujan meluruhkan rintiknya, yang awalnya masih berupa butiran kecil, akhirnya semakin menderas. Aku mulai mengeluh. Tapi kamu justru memulai percakapan.

    Kamu : Apa yang kamu keluhkan?

    Aku : Hujan. Tiba-tiba saja menderas. Ah, Tuhan seperti tidak tahu kondisi kita sekarang saja. Sudah lelah-lelah menunggu, masih terkena tempias air hujan. Belum lagi nanti jika sudah sampai, kalau hujan belum berhenti, kita pasti akan kehujanan juga.

    Aku memulai keluhanku, sedangkan kamu justru menertawaiku.

    Aku : Mengapa kamu tertawa? Apakah kata-kataku ada yang kau rasa lucu?

    Kamu : Ya kamu lucu, lucu sekali. Kamu tahu, ini baru sekedar hujan saja omelanmu sudah tidak terputus. Bagaimana jika yang kita hadapi sekarang adalah badai. Bisa-bisa aku akan menghabiskan sisa perjalanan untuk mendengarkan ber-ton-ton keluhanmu, kamu tidak lelah?

    Aku : ...

    Kamu : Kalau boleh memilih, kamu lebih suka hujan atau badai?

    Aku : Ya jelas lebih baik hujan-lah. Yang hujan begini aja udah bikin repot, apalagi badai.

    Kamu : Haha, sudah kuduga. Dan kebanyakan orang pasti akan mengambil pilihan sepertimu. Kalau aku, aku akan memilih badai.

    Aku : (mengeryit heran) Hah, kamu serius?

    Kamu : Ya aku serius. Lebih tepatnya bukan memilih, tapi mencoba untuk mencintai badai. Tentu ini bukan badai dalam arti sebenarnya. Badai dan hujan ini kuanalogikan seperti problematika dalam hidup kita.Badai itu ibarat masalah maha dahsyat yang kita alami dalam hidup ini. Jika kita tidak mencoba mencintai 'badai' ini, yang kita lakukan pasti akan sebaliknya, yaitu membencinya. Hidup kita akan dipenuhi keluhan dan cemooh terhadap segala hal. Menyalahkan diri sendiri, orang lain bahkan Tuhan nanti akan ikut-ikutan disalahkan.

    Aku : Ah kau ini, bagaimana bisa kita mencintai masalah-masalah berat yang sedang kita hadapi. Kau ini semakin melantur saja.

    Kamu : Bisa. Sangat bisa. Mencintai 'badai' dalam hidup kita berarti bersabar dan berprasangka baik terhadap Allah. Pasti Allah memiliki maksud, mengapa kita dihadapkan dengan badai ini. Dan yang pasti, seseorang yang sudah pernah atau bahkan sering dihadapkan dengan badai dalam hidupnya, ia akan mudah untuk melewati hujan, apalagi gerimis kecil. Seringkali kita sudah salah berprasangka dahulu pada Allah, terkadang sebelum badai itu reda kita sudah menyerah dan akhirnya kita ditenggelamkan oleh pusarannya. Padahal seperti yang kita tahu, pelangi paling indah justru akan muncul setelah badai yang dahsyat. Untuk itulah dari sekarang ini aku akan mencoba mencintainya. Mencintai badai dalam kehidupanku.

    Dan percakapan kita terputus saat trayek yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba.

    (Percakapan imajiner anatara 'Aku' dan 'Diriku')

    Shelter Trans Jogja


  6. Ini tentang pertanyaan-pertanyaan teruntuk diriku oleh diriku yang dulu pernah aku pertanyakan.

    Allah itu sungguh-sungguh romantis. Buktinya, Dia selalu memberikan kejutan di akhir. Kejutan mengenai makna kehidupan dan makna dari dikabulkannya setiap do'a-do'a yang pernah kita ajukan pada-Nya.

    Do'a-do'a kita pasti dikabulkan. Ada tiga sisi mengenai dikabulkannya do'a-do'a yang ingin Allah tanamkan pada kita.

    Yang pertama : "Iya, boleh," Mengajarkan kita untuk bersyukur. Artinya keinginan kita selaras dengan ingin Allah.

    Yang kedua : "Iya, tapi nanti," Mengajarkan kita untuk bersabar. Ada kalanya Allah menunda kapan saat yang tepat untuk memberikan apa yang kita harapkan. Hal itu untuk mendidik kita, seberapa besar kerinduan kita pada-Nya, meskipun tidak diberi saat itu juga.

    Yang ketiga : "Iya, tapi yang lain," Mengajarkan kita keikhlasan. Bahwa kadang dengan tidak dikabulkan sesuai permintaan adalah cara Allah untuk mengabulkan do'a-do'a. Karena bisa jadi apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut Allah itu baik. Allah yang telah menciptakan kita sewujud rupa. Dia jugalah yang paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya. Andaikan kita ini seorang penemu robot, kita berhak bukan untuk meng-utak-atik robot buatan kita semau kita? bukankah kita pula yang paling tahu apa yang dibutuhkan dan cocok untuk robot ciptaan kita? Itu sudah pasti.

    Sekarang jawabannya kembali pada diri kita masing-masing. Tetapkah kita pada persangkaan baik (khusnudzon) kepada Allah, atau justru sebaliknya. Sesungguhnya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam benak kita selama ini, sudah terjawab. 


    Senja di pusat Jogjakarta. Amsaina 'ala fitratil Islam.





  7. Mengambil Keputusan

    Selasa, 26 Mei 2015


    Orang dulu berkata, bahwa jika kita hendak mengambil suatu keputusan kita harus merencanakannya matang-matang. Memikirkan dampak dari keputusan yang kelak akan kita ambil. Siap memilih, berarti siap mengemban resiko.

    Perihal mengambil keputusan banyak orang yang sudah mampu melakukannya. Namun tentang siap menghadapi resiko dan beban tanggung jawab, saya rasa itu hanya sebagian kecil yang bersedia. Kadang saya berfikir, jika semua orang hanya ingin mengambil keputusan saja, lalu siapa yang akan bertanggung-jawab setelahnya? Pertanyaan berikutnya yang kemudian muncul adalah, masihkah ada orang-orang yang siap mengambil keputusan lalu menerima segala resiko dan tanggung jawab di belakangnya.

    Ternyata ada. 

    Saya bertemu dengan orang-orang yang berani mengambil keputusan kemudian siap mengemban resiko dan tanggung jawab dibelakangnya. Ada yang berani mengambil keputusan meninggalkan pekerjaan nya yang sudah mapan di perkantoran elite dan banting stir menjadi seorang pengusaha, dia tahu resiko yang dihadapinya adalah bangkrut dan dia siap untuk itu. Menurut saya dia ini orang yang keren.

    Ada juga seorang teman yang berani mengambil keputusan untuk memutuskan pacarnya, dengan resiko dia akan men-jomblo untuk sementara waktu, dan pasti hal itu adalah ujian untuk perasaannya sendiri. Karena ada pertanggung jawaban besar dibalik dia memutuskan pacarnya, yaitu tentang hubungan dengan Rabb-nya, karena dia menyadari bahwa hubungan sebelum pernikahan adalah hubungan paling tidak bertanggung jawab dan penuh kemudharatan. Menurut saya dia ini orang yang sangat keren. :)

    Tapi ternyata pada kenyataannya, banyak yang lebih suka bebas, tidak bertanggungjawab dan tidak mau mengambil resiko. 
    Kita mau jadi yang seperti apa? 

  8. Perempuan, tentang Menjaga

    Senin, 25 Mei 2015

    Perempuan, tentang Menjaga



    Ibu pernah bercerita kepadaku, bahwa seorang perempuan harus pandai-pandai menjaga dirinya dengan baik. Saat itu usiaku masih sangat belia. Sejujurnya aku idak begitu faham mengapa ibu berpesan seperti itu kepadaku. Kata ibu, suatu saat nanti ketia aku sudah berkepala dua aku akan memahaminya.

    Dan kini, saat aku sudah menginjak awal kepala dua aku mulai memahami dengan baik mengapa dulu ibuku berpesan seperti itu. Jauh-jauh hari sebelum aku sudah tumbuh seperti ini.

    Ternyata urusan menjaga diri itu bukan urusan biasa-biasa. Ini urusan penting yang semua perempuan harus tau.

    Setiap perempuan sejatinya harus menyadari bahwa dirinya adalah perhiasan berharga. Menjaga diri berarti menjaga salah satu perhiasan terbaik di bumi ini. Seperti kata Nabi, sebaik-baik perhiasan di bumi adalah perempuan shalihah. Perhiasan itu akan nampak indah jika diletakkan pada tempat yang seharusnya, dibalik bilik rasa malu dan kehormatan. Sehingga tidak semua dan sembarangan orang mampu untuk memandang, terlebih menyentuhnya.

    Namun terkadang banyak yang merasa tergoda untuk menampakkan kilaunya. Berlomba untuk menjadi perhiasan paling cantik luarnya. Tapi dia tidak sadar, bayak tangan-tangan pencuri yang kapan saja siap menyentuhnya. Akan banyak pasang mata yang bisa saja mengintai kemanapun ia berada, mengambilnya dari tempat yang seharusnya ia terjaga.

    Aku sebagai perempuan terkadang ingin juga menampakkan kilau-ku pada sekitar. Namun acapkali keinginan ini berbisik, aku selalu teringat pesan ibu yang lain. Hati-hati nak, hati perempuan seperti kita itu ibarat gelas kaca. Sekali ia retak atau bahkan pecah maka akan sulit menyatu kembali walau diberi perekat paling baik sedunia. Jangan mudah untuk menebar pesonamu, jangan mudah tergoda oleh pesona disekitarmu. Jika memang keindahan paras terkadang mengusik perasaanmu, mintalah pada Allah agar kau mampu melihat keindahan yang datang dari hati. Tetaplah menjaga dirimu nak. Tetaplah menjadi perhiasan terbaik bagi ibu ayahmu, dan seseorang yang kelak menggenapkanmu.

    Jogja. Menjelang Duhur, dibawah langit yang mentarinya masih menyembul malu-malu.

  9. Sendiri

    Selasa, 19 Mei 2015



    Kau tahu, sendiri itu adalah ujian berat.
    Berat karena kita harus bersabar lebih terhadap godaan perasaan yang rasanya ingin segera mekar lalu menggenap.

    Bersabar terhadap dorongan diri sendiri akan keinginan-keinginan jemu, atau sekedar kesenangan saat disapa dan diperhatikan. Terlihat sepele memang, tapi itu sangat mampu untuk menjerumuskan.

    Sendiri adalah tentang menekan ego pribadi kita, agar ia mampu meredam dan tidak diluapkan. Karena saat ego dipaksakan, ia akan mencoreng bagian dari diri kita yang bernama harga diri. Jika kamu pernah mengaji, pasti faham apa itu menjaga 'iffah dan 'izzah.

    Sendiri adalah tentang susah-payah untuk beristiqomah melawan segala keinginan untuk dilihat serta dipuji dengan segala materi berpayung duniawi, memaknai hidup bahwa ajal senantiasa mengikuti dan mendampingi, kapan kita akan diberi giliran untuk disinggahi mati.

    Sendiri juga adalah tentang memantaskan diri. Apakah kita sudah pantas dan cukup bekal untuk menghadapi penghidupan abadi. Karena memantaskan diri itu tidak hanya sesederhana keinginan untuk segera menemukan pendamping duniawi. Kau tahu, bahkan aku sampai detik ini masih berusaha agar tidak hanya niat menggenap yang kujadikan sandaran untuk perbaikan diri, semoga Allah juga melihat bahwa diri yang lemah ini juga sedang berusaha untuk memantaskan diri dihadapan Rabb-nya.

    Sendiri pun berlaku pula untuk orang-orang yang sudah menggenap. Bahwa isi hati setiap pribadi tidak akan ada yang mengetahui kecuali dirinya sendiri. Bahwa ketika sudah menggenap-pun, ujian kesendirian itu (kadang) terasa lebih berat.

    Semoga kesendirian kita semakin memupuk dan menyuburkan keimanan kita. Ianya terus tumbuh ranum dalam naungan kethawadu'an. Semoga kesendirian ini menjadi pemberat timbangan kita kelak. Ya, semoga kesendirian ini kelak menjadi jalan cahaya.

    Semoga Allah segera genapkan jiwa-jiwa yang masih sendiri. Selamat memantaskan diri. :)

    Yogyakarta, saat matahari belum memunculkan saga-nya.

  10. Tentang Perjalanan

    Jumat, 01 Mei 2015


    Setiap perjalanan pasti menyimpan kenangan. Meninggalkan sebentuk hikmah serta pelajaran berharga. Dan setiap orang memiliki perjalanan masing-masing sesuai tujuannya.

    Seperti perjalanan hari ini. Mungkin ini terasa hampir sama dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Namun setelah aku memikirkan ulang, rasanya ini beda. Dan aku percaya, setiap perjalanan akan menceritakan kisahnya sendiri. Menjadi sebuah kumpulan cerita pendek atau bahkan novel yang berjilid-jilid yang tak ada kata 'tamat'nya. Kecuali Sang Penulis Skenario menginginkan untuk mengakhirinya.

    Dalam setiap perjalanan tidak melulu berisi kebahagiaan dan kesenangan. Karena cerita yang indah justru lahir melewati plot-plot yang berisi kesedihan, ujian, ketakutan, rasa sakit dan hal-hal lain yang mungkin menurut para pembaca tidak menyenangkan. Tapi lihatlah, ternyata cerita perjalanan tidak akan berakhir hingga disitu.

    Pada akhirnya akan ada secercah cahaya diujung sana. Kita hanya perlu membaca ceritanya sedikit lebih banyak. Agar tidak menjustifikasi perjalanan pada plot terakhir yang kita baca. Karena pemahaman-pemahaman baik kelak akan mampu kita rasakan nanti, diujung cerita.

    Maka bersabarlah pada cerita perjalanan ini. Oh iya, jangan lupa untuk meminta pada Sang Penulis Skenario cerita, agar cerita perjalanan kita diakhiri dengan ending paling baik. Semoga saja. :)