Rss Feed
  1. Don't Judge

    Jumat, 21 November 2014


    Ungkapan "Don't judge from its cover" sedianya ada benarnya. 

    Saya memiliki seorang murid. Sekilas jika dilihat, anak itu baik-baik saja bahkan cenderung pasif. Tidak banyak hal yang saya ketahui tentang dia. Setau saya, dia adalah putri tertua seorang pengusaha kaya, anak yang penurut, prestasi oke, tidak pernah bermasalah, pokoknya serba baik lah, kecuali mungkin kekurangnnya hanya satu, anak itu sangat pendiam.

    Hingga suatu hari ada suatu hal mengejutkan saya terjadi. Ketika sedang menyetorkan hafalan al-Qur'an, tiba-tiba anak ini menangis. Awalnya terisak, lama-kelamaan semakin keras. Teman-temannya mengira dirinya menangis karena setoran hafalannya tidak lancar. Tapi saya merasakan ada hal lain yang menyebabkan dirinya menangis sampai seperti itu. Saya menunggu sampai tangisnya reda.

    Setelah didesak, akhirnya murid saya ini mau bercerita. Betapa mengejutkan, anak yang menurut saya sempurna ini ternyata hidup ditengah ayah-ibu yang sering bertengkar. Ayahnya yang pengusaha itu memiliki WIL(Wanita Idaman Lain). Bahkan, dia pernah melihat ayahnya bertemu wanita itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya. Ah, itulah mengapa anak ini sangat pendiam. Dibalik prestasinya yang melejit, dia menyimpan tekanan yang cukup mendalam. 

    Dari kejadian hari itu saya merenung. Ternyata memang kita tidak bisa menjustifikasi seseorang begitu saja padahal kita belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dalam agama Islam, hal ini disebut dengan tabayyun. Mengkroscek ulang kembali. Belum tentu, ketika seseorang itu terlihat baik luarnya, dalamnya pun begitu. Dan belum tentu ketika seseorang terlihat 'kurang' di mata kita, dalamnya pun begitu. Sebelum kita benar-benar tahu, sebisa mungkin untuk tidak men-judge nya. Dan meskipun hal itu benar adanya, jangan pula kita membenarkan anggapan kita. Tetap berusaha dalam khusnudzan(berprasangka baik) terhadap semua orang di sekitar kita. Mau jahat atau baik. Mau hebat atau lemah. Mau kaya atau miskin. Jangan menjustifikasi. Karena kita tidak pernah tahu, mungkin dia yang dulu jahat nantinya akan menjadi baik. Pun sebaliknya. Tidak ada jaminan orang yang baik, akan baik selamanya. Dia yang terlihat menyeramkan dari luar, mungkin ternyata memiliki hati sejernih Abu Bakar r.a. Orang yang terlihat sangat baik dan terpelajar, belum tentu hati dan kepribadiannya juga baik. Yang perlu kita garis bawahi, ketika seseorang dijustifikasi, itu hanya akan menyisakan segores luka mendalam dalam hatinya. Mau itu benar atau salah. Hanya Allah yang berhak menilai, dan Dia pula yang mampu membolak-balik hati dan paling mengerti apa yang terdetik dalam hati manusia. Wallahu a'lam bish shawab.

    Salam Sukses!


  2. Seringkali seorang ibu yang melihat anaknya bertengkar dengan saudaranya atau teman sepermainannya menasehati agar anaknya mudqah memaafkan orang lain. Memaafkan, dan melupakan. Anggap saja itu pertikaian kecil diantara kalian berdua gara-gara memperebutkan mainan. Ya, dan biasanya tidak lama kemudian anak-anak itu sudah saling tertawa kembali.

    Lucunya, justru terkadang ibu itu sendiri dan kebanyakan orang dewasa lainnya masih sangat susah untuk melafadzkan kata 'maaf', meskipun untuk mendiktekan di dalam hati. Realitanya seperti itu bukan?
    Kita orang dewasa terkadang masih susah untuk bersikap 'dewasa'. Bukan karena kita tidak bisa memaafkan, tapi kitanya yang tidak mau. Kita menganggap bahwa diri kitalah yang paling benar, orang lain salah. Atau ungkapan-ungkapan seperti, dia yang salah kenapa aku harus memaafkan? Kesalahan dia sudah tidak bisa ditolelir, tidak bisa dimaafkan!
    Ah, kalau masih seperti itu berarti kita bisa dibilang orang dewasa yang masih berfikir kekanak-kanakan. Anak kecil saja mampu untuk memaafkan, mengapa kita tidak?

    Marilah kita buang sedikit ego yang bercokol di hati kita. Memaafkan itu melapangkan hati. Memaafkan itu bukan berarti kalah, justru andalah orang yang menang karena mampu mengalahkan ego. Memaafkan itu menentramkan. Memaafkan itu ciri muslim pemberdaya. Memaafkan itu membersihkan hati dan jiwa. Percayalah. Yuk, belajar saling memaafkan. 

    Salam Sukses!

  3. Legal dan Ilegal Relationship

    Jumat, 07 November 2014


    "Duhai kawan aku punya cerita
     Kisah tentang dua anak manusia
     Yang terhunjam sebatang panah asmara
     Kemudian mendapat hidayah Rabb-Nya
     Keduanya kini harus memilih
     Antara sahabat dan Rabb-Nya terkasih
     Sahabat lama-pun kini ditinggalkan
     Cinta suci hanyalah milik Tuhan"


     Ini adalah sepenggal lagu dari terjemahan "Aduh Segere" yang saya hafalkan ketika masih duduk di bangku  SD dulu. Mungkin ada yang berfikir, wah lagunya kok ber-genre cinta sudah diajarkan ke anak SD ya?  okelah kita tidak akan membahas itu dan saya belum mengerti mengapa guru kesenian saya mengajarkan  lagu itu. Tapi mari kita lihat dari sisi maknanya. 

     Banyak kita temui realita ditengah lingkungan, khususnya ditengah lingkungan aktivis atau bahkan akademisi  kampus yang awalnya  hanya sekedar teman, sahabat baik kemudian timbullah benih-benih asmara diantara  keduanya. Tidak dapat  dipungkiri, intensitas komunikasi, pertemuan dan kerja lapangan serta bakti sosial  berperan kuat untuk  melahirkan benih-benih ini. Lalu, apakah hubungan dan perasaan ini dilegalkan begitu  saja?

     Jawabannya adalah bisa IYA bisa juga TIDAK. Hubungan dan perasaan ini menjadi legal jika anda siap  mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah dalam ikatan pernikahan. Dan sebaliknya, hubungan ini  akan menjadi ilegal jika anda tidak ingin berkomitmen serta bertanggung jawab dan hanya ingin bermain-  main dengan dosa saja. Ya pilihannya hanya sesimple itu, mau legal harus bertanggung jawab. Jika masih  belum mampu, menahan serta menjaga diri itu lebih utama.

     Salam sukses! 



  4. Walau 'hanya' sebuah pesan singkat

    Jumat, 22 Agustus 2014

    Suatu waktu seorang pemuda ingin sekali menanyakan kabar teman-teman alumninya yang sudah tersebar di seluruh pelosok nusantara. Ada sebuah balasan pesan yang membuat dia sangat terkejut, "Na, makasih ya kamu masih mau merhatiin aku. Seandainya kamu nggak ngirim SMS tadi, mungkin besok kamu sudah ngebaca berita bunuh dirinya aku. Aku frustasi, aku ngerasa udah nggak ada yang peduli lagi sama aku. Jadi aku pikir lebih baik aku mati daripada hidup seperti ini. Tapi setelah dapet SMS dari kamu, aku ngerasa bahwa di dunia ini masih ada orang yang mau memperhatikanku. Mau respect dengan keadaanku. Aku jadi punya gairah hidup kembali. Makasih ya... terimakasih."



    Kita tidak pernah menyangka, secuil perhatian dari kita mungkin saja mampu menggagalkan usaha bunuh diri seseorang. Mampu menyelamatkan sebuah nyawa. Betapa sebuah kata-kata sederhana namun diutarakan dengan segenap ketulusan mampu merubah sebuah keadaan. Mampu menyentuh emosional seseorang. Kata-kata sederhana namun diutarakan dengan tulus mampu mengeratkan silaturahim yang longgar. Mampu menyatukan hati, mengikat kebersamaan serta membangun pondasi ukhuwah.

    Pengalam pribadi saya, saat ayah saya mengalami kecelakaan,ketika itu saya benar-benar merasa tepukul. Sedih sudah pasti, bahkan ketika menunggui beliau di rumah sakit seringkali saya bolak-balik ke kamar mandi untuk menyembunyikan tangis saya. Sungguh saya merasakan betapa perhatian, do'a, ungkapan yang membangun jiwa sangat membuat jiwa saya jauh lebih tenang. Perhatian teman-teman, saudara, dan sejawat yang meskipun hanya mampu tersalur lewat pesan singkat, BBW, WA atau inbox di facebook sanggup menambal hati saya yang sedih. Jauh membuat perasaan saya lebih tenang, fokus dan tidak larut dalam kesedihan.

    Kita tidak boleh menyepelekan hal-hal yang terlihat sangat sederhana dan 'sepele'. Bisa jadi, hal-hal kecil tak terlihat itulah apa yang justru kita atau saudara kita butuhkan. Selalu berusaha memberi perhatian terbaik bagi saudara, teman, sahabat pun sejawat. Walaupun itu hanya sesederhana pesan singkat dari ponselmu, ya hanya sesederhana itu.

    Salam sukses!



  5. Dalam sebuah forum ilmiah ekonomi makro di sebuah Universitas di Sorbonne, hadirlah sekumpulan mahasiswa dari berbagai negara, antara lain  Amerika latin, Irlandia, Indonesia dan Spanyol. Dalam forum tersebut, sang Profesor mengajukan sebuah masalah yang harus diselesaikan, yang mana hasil dari forum tersebut akan dipilih seorang untuk maju ke lomba ekonomi makro tingkat International, akan tetapi sang Profesor menyembunyikan keinginan tersebut dalam hati, ia ingin menguji kesiapan mental para mahasiswanya. Beliau mengajukan sebuah permasalan dalam sebuah slide, dan memancing mahasiswanya untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan begitu percaya dirinya, seorang mahasiswa asal Irlandia mengacungkan tangan dan memaparkan opini dan pemikirannya terhadap masalah tersebut. Disusul oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya, kecuali satu, mahasiswa asal Indonesia. Dia tetap termangu di tempatnya, terdiam seribu bahasa. Setelah kelas selesai, Profesor tersebut bergegas meninggalkan ruangan dengan perasaan tidak puas sama sekali, lantaran tidak ada satu penjelasan pun dari mahasiswanya yang mendekati benar dan sesuai dengan harapannya. Tapi beliau urungkan lantaran mahasiswa asal Indonesia tersebut buru-buru mengejar langkahnya. “Prof, sebenarnya saya punya pandangan lain terhadap masalah tersebut,” kata-kata yang tidak tegas dan ragu-ragu itu membuat sang Profesor setengah hati untuk tetap berdiam di tempatnya. Namun akhirnya beliau mau mendengarkan penuturan dari mahasiswa asal Indonesia itu.

    Perfect! 
    Decak kagum berkali-kali terucap dari bibir sang Profesor setelah menyaksikan presentasi mahasiswanya yang sempat ia ragukan. Sambil menepuk pundak mahasiswanya ia berkata, “Wahai jenius, seandainya tadi kau tetap diam maka medali emas itu bukan jadi milikmu. Jangankan emas, perunggu pun aku tak yakin mampu kita peroleh dari mahasiswa macam temanmu tadi.”

    Malu itu boleh, asal...
    Ada sebuah fakta miris yang terjadi di negri mayoritas Muslim ini. Negara kita terkenal dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia. Tapi yang menyedihkan, dari sekian banyak jumlah umat Islam, yang percaya diri untuk memberdayakan umat hanyalah segelintir. Mayoritas dari kita masih merasa malu, tidak percaya diri, ragu-ragu terhadap potensi yang dimilikinya. Kita sering terjerumus dalam rasa malu yang salah kaprah. Malu dalam memulai kebaikan, malu untuk berproses menjadi pribadi unggul, malu bersedekah dan rasa malu lainnya yang jelas sama sekali tidak diajarkan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Banyak yang keliru memaknai sebuah hadis yang menyebutkan bahwa al-Hayaa’u minal iiman (Malu itu sebagian dari iman). Hadis itu diperuntukkan untuk memiliki rasa malu terhadap hal-hal yang berkonotasi ‘negative’. Contoh, malu merampok, malu kalau berputus asa, malu kalau masih terus menerus menyusahkan kedua orang tua, malu berbuat munkar dan lain sebagainya. Jadi, jangan salah kaprahkan makna dari hadis tersebut dan menjadikannya sebagai penghambat untuk memulai pijakan langkah kesusksesan kita.

    Kang Rendy, Owner brand merk baju muslim KeKe mengatakan, “Kita jangan mau terus menerus menjadi konsumen, kita harus jadi produsen. Umat Islam di negri kita yang menjadi konsumen itu buanyak, tapi yang mau jadi penjual(pedagang) dan pengusaha itu sedikit sekali, kenapa? Karena umat Islam di indonesia malu untuk terlihat ‘seperti orang susah’ dalam proses ‘menjadi orang super kaya dan muslim yang pemberdaya’. Mereka malu, tapi malu-maluin. ”
    Muslim Pemberdaya

    Tidak ada dalam istilah kamus umat Islam itu ‘menyerah’ atau ‘gagal’, menyerah berarti kita tidak bersyukur, tidak bersyukur berarti kita kufur, dalam surat An-Naml ayat 73 Allah menyebutkan Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai karunia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri (nya). Dalam ayat yang lain Allah juga menyebutkan, “Apabila kamu sekalian bersyukur, maka akan kami tambahkan nikmat kepadamu. Akan tetapi apabila kamu kufur, ketahuilah sesunggauhnya adzab-Ku sungguh pedih.”

    Gagal bukan berarti kita terpuruk selamanya, tidak memiliki harapan dan tujuan hidup lagi, kita sudah benar-benar lumpuh untuk melangkah atau semacamnya. Itu semua salah! Jangan pernah doktrin tubuh dan pikiran kita dengan kata-kata ‘gagal’ katakanlah bahwa ‘kita memiliki kesuksesan yang sedang tertunda timing-nya’. Yakinlah pada Allah. Allah saja berjanji, laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim(Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya) QS. At-Tiin : 4. Jadi kita ini sudah dilahirkan sebagai ‘sang maestro’, belum lahir saja kita adalah sang pemenang yang telah mengalahkan berjuta sel sperma lain yang saling berlomba untuk mencapai sel indung telur dan menjadi ‘manusia terpilih’, jadi jangan bilang kalau kita terlahir sia-sia, nggak berguna atau nggak berpotensi, kalau boleh saya usulkan, orang-orang seperti ini buang ke laut aje. Dunia sudah sempit, akankah kita akan menyesaki dunia dengan ‘pesimistis’ lainnya? Jelas tidak! Karena saya, anda dan kita semua adalah muslim pemberdaya. Muslim yang memberdayakan, yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi agama dan bangsa. InsyaAllah.  

    Salam sukses!

  6. Waiting List

    Selasa, 19 Agustus 2014

    Seorang teman berbagi kisahnya pada saya.

    Ini perenungan sederhana dari perjalanan takziyah saya dan kawan-kawan dari rumah guru saya di daerah Bantul. Hari itu entah kenapa cuaca terasa sangat panas, AC mobil yang kami tumpangi nampaknya masih belum mampu menghalau terpaan panas yang memantul ke kaca mobil kami. Peluh mulai membasahi dahi dan pelipis saya, jujur saja, saya merasakan baru kali ini cuaca sepanas ini. Beberapa teman yang lain sibuk untuk mendinginkan tubuhnya, mulai dari kipas-kipas dengan benda yang ditemui disekitarnya, hingga mengelap mukanya dengan tissue yang telah dibasahi air. "Wah gini aja gue udah nggak betah gara-gara panas, gak kebayang juga nih di neraka panasnya bakal kayak apa yah." Celetuk seorang teman saya, dan entah kenapa kata-kata itu justru terus-menerus terngiang sepanjang sisa perjalanan. Ya, di kepala saya hanya berputar-putar ucapan teman saya tadi. Bagaimana jika di neraka nanti? Na'udzubillahi min dzalik.

    Karena adzan Asar berkumandang ketika perjalanan pulang, kami memutuskan untuk berhenti dan shalat terlebih dahulu di sebuah musholla pinggir jalan. Karena kondisi musholla yang kurang memadai, akhirnya kami memutuskan untuk membagi menjadi dua kloter. Saya yang sudah menyelesaikan kloter pertama sambil menunggu yang sedang shalat, duduk bersantai di emperan musholla. Tak terasa pandangan saya menerawang ke arah jalan yang lengan. 

    BRAKKK!!!

    Sontak kami semua menoleh ke asal suara. Betapa terkejutnya kami melihat seorang ibu yang sudah sepuh tergeletak di jalan raya, sedangkan seorang perempuan muda tergeletak juga bersama motornya tidak jauh dari tempat ibu tadi. Astaghfirullahal'adzim, kecelakaan. Si ibu pingsan, sedangkan wanita tadi masih bisa bangun dari motor meskipun tertatih-tatih.
    "Ya Allah Ibuuu...!!!" perempuan umur 30-an memeluk ibunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Orang-orang mulai berkerumun, kok ya kebetulan sekali hanya mobil kami yang ada di pinggir jalan itu, akhirnya rekan saya mengambil inisiatif untuk mengantar si ibu ke IGD, saya ikut serta mengantar di dalam mobil. Mau tidak mau, akhirnya saya mendengarkan juga percakapan antara anak si ibu dan wanita yang menabrak tadi.
    "Mbak gimana sih kok nggak hati-hati tadi, nggak lihat ibu saya lagi nyebrang apa?!"
    "Maaf bu, tadi saya keburu mau ke kampus, lagipula tadi ibu jenengan tidak menoleh kanan kiri, beliau tadi langsung lari..."
    "Ya kan ibu saya sudah tua, mbok ya pelan-pelan, nggak mungkin ketabrak kalau mbak nggak ngebut kayak tadi!" si anak korban masih saja ngotot dan menyalahkan. 
    Teman saya mencoba menengahi, karena mbak yang menabrak terus menerus dipojokkan. Dia mengajak semua yang di mobil untuk ber-istighfar karena kondisi ibu sepuh tadi tidak juga sadarkan diri, bahkan mulai keluar darah dari hidung dan telinganya. Rabbii...

    Pecah tangisan pilu dari ruang IGD. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun.
    Saya menghela nafas, ah sebenarnya tidak ada satu pihak pun yang dapat disalahkan sepenuhnya. Ibu sepuh tadi salah karena menyebrang tanpa tengok kanan dan kiri, sedangkan mbak yang menabrak juga salah karena melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi semua itu sudah diskenariokan oleh Allah. Sudah dituliskan dengan rapi bahkan sebelum si ibu sepuh itu lahir ke dunia di Lauhul mahfudz. Saya kembali terngiang celetukan teman saat berangkat tadi,  "Wah gini aja gue udah nggak betah gara-gara panas, gak kebayang juga nih di neraka panasnya bakal kayak apa yah." Saya merinding sendiri, ya Allah semoga ibu yang meninggal barusan Kau tempatkan di tempat terbaik-Mu.

    Saya teringat sebuah kutipan ayat,“Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan dan mendahulukannya sedetikpun,”[QS. An-Nahl: 61]." Ya memang benar, kita tidak bisa menerka kapan dan dimana kita akan menyelesaikan persinggahan sementara kita di dunia. Kita semua sedang menunggu waiting list kematian yang entah kapan datangnya. Sangat bijaksana jika kita selalu berusaha untuk mempersiapkan giliran yang pastinya akan sampai pada diri kita juga, dan pastinya bagaimana kualitas ibadah dan persiapan kita di dunia kini, kelak menentukan di mana 'rumah keabadian' yang akan kita tempati. Wallahu a'lam bish shawab.

    Salam sukses!
    *Seperti dituturkan oleh nara sumber dengan perubahan seperlunya. 

  7. BIRU itu tak mesti SEDIH

    Selasa, 24 Juni 2014

    Banyak hal yang terkadang kita inginkan belum terealisasi. Dari sesuatu yang kecil seperti menginginkan menonton film tertentu, eh ternyata kehabisan tiket. Atau ketika menginginkan kuliah di Universitas A yang sudah kita incer semenjak lama, eh ternyata nggak keterima. Kadang timbul perasaan jengkel, nggak keterima, marah sama diri sendiri bahkan kadang secara nggak sadar kita nyalahin orang lain yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan permasalahan kita. Orang tua kita akhirnya kena omel, adik kita yang lagi asyik main boneka serasa merampas kebahagiaan kita, bahkan tumpukan buku bacaan tidak bersalah di hadapan kita tak luput dari ruahan kekesalan batin kita.

    Ah, you know guys!
    Pasti kalian semua pernah mengalami hal seperti ini. Dan biasanya setelah itu keadaan emosi kita kurang stabil. Itu wajar. Kadang saking drop-nya, kita sampai merasakan kesedihan yang terlalu. Semua serba galau, istilahnya zaman sekarang. Pikiran buntu. Mood nggak karuan. Segala cuaca terasa mengharu-biru. Serba kelam nan mendung. Sepertinya kita sama sekali tidak mampu melihat sedikit-pun titik terang permasalahan kita.

    Sobat, sebenernya kita cuma butuh waktu untuk keep calm ataupun diam sejenak. Berusaha untuk tidak memikirkan apa yang telah terjadi, lebih tepatnya untuk tidak terlalu larut dalam 'kegundahan' yang kita alami. Ketika kejernihan pikiran itu datang, hei lihatlah langit biru yang tadi kita lihat begitu kelabu saat pikiran keruh itu kini terlihat sangat cerah. Kau tahu, kejernihan itu kau dapatkan saat kau mampu tenang dan keikhlasan di hati kau sematkan. Mana mungkin semburat pelangi yang memancar di awan setelah hujan datang dapat kau lihat keindahan gradasinya selama matamu tersingkap kacamata kesedihanmu. Dunia itu berwarna sobat. Hidup itu luas, dia tidak akan sesak oleh secuil masalah yang kita alami. Dan dia tidak akan berhenti berputar pada satu hari ketika kau merasakan kegundahan kecil. Semua kembali pada diri kita sobat, bukankah langit biru itu terlihat cerah? atau di matamu itu terlihat kelabu? ah itu pilihan kita. Ingatlah, pelangi hanya bisa kita temukan pada satu sisi yang terang. Saat langit biru itu sudah sempurna terlihat cerah di mata kita. 

    Salam Sukses!

  8. Manifestasi Tiada Rugi (Pasti Untung!)

    Sabtu, 01 Februari 2014


    “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh Allah Maha Mengetahui” (QS. Ali-Imran : 92)

                    Ada sebuah kisah yang sangat menarik mengenai bersedekah. Sebuah kisah nyata yang dituturkan langsung oleh narasumbernya kepada saya.

    1 Juta Rupiah dibalas Umrah Gratis

                    Sebut saja namanya Imran, dia mengisahkan ketika kedua orang tuanya sedang mengikuti sebuah seminar tentang sedekah pada akhir acara sang moderator membuka kesempatan untuk seluruh peserta yang ingin “Bersedekah secara besar-besaran”, tidak tanggung-tanggung, seluruh peserta yang baru saja mengikuti seminar saling ber-fastabiqul-khairaat  menginfakkan apapun barang berharga yang sedang dibawa. Baik itu mobil, rumah, handphone, dan lain sebagainya. Termasuk kedua orang tua Imran yang pada saat mengikuti seminar itu kebetulan membawa uang sejumlah 1 juta rupiah. Tidak lebih, tidak kurang. Uang yang tadinya berniat untuk dibelikan perabotan dapur sepulang dari seminar akhirnya diinfakkan secara utuh, dengan keyakinan InsyaAllah uang itu akan lebih berkah dan bermanfaat apabila diinfakkan, toh apabila ingin membeli perabotan dapur, masih ada hari esok dan esoknya lagi. Bismillah, itu kuncinya.
                    Sepulang dari seminar, semua berjalan apa adanya seperti hari-hari sebelumnya, sampai akhirnya keesokan harinya seorang sahabat dekat ayah Imron menelefon, dan secara cuma-cuma menawarkan paket umroh gratis untuk dua orang, dan menurut jadwal keberangkatan, akan dilaksanakan satu minggu lagi. Ganggang telepon tiba-tiba terjatuh tanpa ayah Imran sadari, seketika badannya tersungkur. Dahinya bersujud mengucap syukur yang tiada tara. Betapa uang senilai satu juta rupiah tidak ada bandingannya samasekali dengan ‘ganti’ yang Allah berikan untuk membayar keikhlasan beliau berdua. Janji Allah terjawab sudah.

    Manifestasi Tiada Rugi

                    “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah:261)
                    Seperti yang disebut dalam ayat diatas, bahwa Allah SWT akan melipatgandakan apa saja yang telah diinfakkan di jalan Allah bagi yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Jumlah pastinya dan dalam bentuk apakah balasan itu diberikan, semua hanya Allah Yang Mahatahu dan lebih berhak untuk menentukannya. Balasan Allah terlalu sempit apabila kita mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau materiil. Nikmat kesehatan, kelapangan waktu, didekatkan jodohnya, dimudahkan bisnisnya, atau apapun itu yang berupa kenikmatan di dunia. Meskipun jikalau tidak dibalas ketika di dunia, infak dan sedekah kita akan menjadi infestasi ketika di akhirat kelak. Jangan pernah ragu ataupun takut jikalau nanti tidak dibalas ataupun merugi, yang namanya manifestasi dengan Allah tidak akan pernah merugi. Sedikitpun . Itu janji Allah, Allah saja membenci hambaNya yang ingkar janji, akankah Allah ingkar janji terhadap kita? Mustahil dan tidak akan pernah.

    Terang-Terangan ataupun Sembunyi-Sembunyi
                    “Entaran aja ah infaknya, nunggu masjidnya sepi” atau “Ih..., dia sedekah aja pake disyuting segala, riya’ banget sih, kepengen sejagat tau kali ya kalau dia sedekah satu milyar ke panti asuhan itu” itulah beberapa ungkapan yang terkadang sering terucap dari diri kita. Karena ingin menghindari ketidak ikhlasan ataupun riya’, kita menunggu jama’ah masjid benar-benar sepi padahal itu sangat memakan waktu. Ataupun ketika kita di lain waktu menyaksikan acara di sebuah stasiun televisi yang memberitakan seorang pengusaha menyedekahkan uang senial jutaan rupiah atau bahkan milyaran untuk kaum dhuafa, dan kita dengan pikiran yang sempit menganggap mereka berinfak untuk riya’ semata, padahal kita sama sekali tidak mampu menebak isi hati, apalagi niat seseorang. Terlebih lagi dalam al-Qur’an bahkan diperbolehkan untuk berinfak secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
                    “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara)sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:274)

                    Jadi tidak ada alasan karena takut riya’, takut dilihat orang lain, atau alasan-alasan lain yang terkadang kita hanya mencari-carinya saja, kita gagal untuk bersedekah. Dimanapun dan kapanpun itu, mari kita men-dawamkan diri kita untuk bersedekah. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?.