Rss Feed
  1. Walau 'hanya' sebuah pesan singkat

    Jumat, 22 Agustus 2014

    Suatu waktu seorang pemuda ingin sekali menanyakan kabar teman-teman alumninya yang sudah tersebar di seluruh pelosok nusantara. Ada sebuah balasan pesan yang membuat dia sangat terkejut, "Na, makasih ya kamu masih mau merhatiin aku. Seandainya kamu nggak ngirim SMS tadi, mungkin besok kamu sudah ngebaca berita bunuh dirinya aku. Aku frustasi, aku ngerasa udah nggak ada yang peduli lagi sama aku. Jadi aku pikir lebih baik aku mati daripada hidup seperti ini. Tapi setelah dapet SMS dari kamu, aku ngerasa bahwa di dunia ini masih ada orang yang mau memperhatikanku. Mau respect dengan keadaanku. Aku jadi punya gairah hidup kembali. Makasih ya... terimakasih."



    Kita tidak pernah menyangka, secuil perhatian dari kita mungkin saja mampu menggagalkan usaha bunuh diri seseorang. Mampu menyelamatkan sebuah nyawa. Betapa sebuah kata-kata sederhana namun diutarakan dengan segenap ketulusan mampu merubah sebuah keadaan. Mampu menyentuh emosional seseorang. Kata-kata sederhana namun diutarakan dengan tulus mampu mengeratkan silaturahim yang longgar. Mampu menyatukan hati, mengikat kebersamaan serta membangun pondasi ukhuwah.

    Pengalam pribadi saya, saat ayah saya mengalami kecelakaan,ketika itu saya benar-benar merasa tepukul. Sedih sudah pasti, bahkan ketika menunggui beliau di rumah sakit seringkali saya bolak-balik ke kamar mandi untuk menyembunyikan tangis saya. Sungguh saya merasakan betapa perhatian, do'a, ungkapan yang membangun jiwa sangat membuat jiwa saya jauh lebih tenang. Perhatian teman-teman, saudara, dan sejawat yang meskipun hanya mampu tersalur lewat pesan singkat, BBW, WA atau inbox di facebook sanggup menambal hati saya yang sedih. Jauh membuat perasaan saya lebih tenang, fokus dan tidak larut dalam kesedihan.

    Kita tidak boleh menyepelekan hal-hal yang terlihat sangat sederhana dan 'sepele'. Bisa jadi, hal-hal kecil tak terlihat itulah apa yang justru kita atau saudara kita butuhkan. Selalu berusaha memberi perhatian terbaik bagi saudara, teman, sahabat pun sejawat. Walaupun itu hanya sesederhana pesan singkat dari ponselmu, ya hanya sesederhana itu.

    Salam sukses!



  2. Dalam sebuah forum ilmiah ekonomi makro di sebuah Universitas di Sorbonne, hadirlah sekumpulan mahasiswa dari berbagai negara, antara lain  Amerika latin, Irlandia, Indonesia dan Spanyol. Dalam forum tersebut, sang Profesor mengajukan sebuah masalah yang harus diselesaikan, yang mana hasil dari forum tersebut akan dipilih seorang untuk maju ke lomba ekonomi makro tingkat International, akan tetapi sang Profesor menyembunyikan keinginan tersebut dalam hati, ia ingin menguji kesiapan mental para mahasiswanya. Beliau mengajukan sebuah permasalan dalam sebuah slide, dan memancing mahasiswanya untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan begitu percaya dirinya, seorang mahasiswa asal Irlandia mengacungkan tangan dan memaparkan opini dan pemikirannya terhadap masalah tersebut. Disusul oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya, kecuali satu, mahasiswa asal Indonesia. Dia tetap termangu di tempatnya, terdiam seribu bahasa. Setelah kelas selesai, Profesor tersebut bergegas meninggalkan ruangan dengan perasaan tidak puas sama sekali, lantaran tidak ada satu penjelasan pun dari mahasiswanya yang mendekati benar dan sesuai dengan harapannya. Tapi beliau urungkan lantaran mahasiswa asal Indonesia tersebut buru-buru mengejar langkahnya. “Prof, sebenarnya saya punya pandangan lain terhadap masalah tersebut,” kata-kata yang tidak tegas dan ragu-ragu itu membuat sang Profesor setengah hati untuk tetap berdiam di tempatnya. Namun akhirnya beliau mau mendengarkan penuturan dari mahasiswa asal Indonesia itu.

    Perfect! 
    Decak kagum berkali-kali terucap dari bibir sang Profesor setelah menyaksikan presentasi mahasiswanya yang sempat ia ragukan. Sambil menepuk pundak mahasiswanya ia berkata, “Wahai jenius, seandainya tadi kau tetap diam maka medali emas itu bukan jadi milikmu. Jangankan emas, perunggu pun aku tak yakin mampu kita peroleh dari mahasiswa macam temanmu tadi.”

    Malu itu boleh, asal...
    Ada sebuah fakta miris yang terjadi di negri mayoritas Muslim ini. Negara kita terkenal dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia. Tapi yang menyedihkan, dari sekian banyak jumlah umat Islam, yang percaya diri untuk memberdayakan umat hanyalah segelintir. Mayoritas dari kita masih merasa malu, tidak percaya diri, ragu-ragu terhadap potensi yang dimilikinya. Kita sering terjerumus dalam rasa malu yang salah kaprah. Malu dalam memulai kebaikan, malu untuk berproses menjadi pribadi unggul, malu bersedekah dan rasa malu lainnya yang jelas sama sekali tidak diajarkan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Banyak yang keliru memaknai sebuah hadis yang menyebutkan bahwa al-Hayaa’u minal iiman (Malu itu sebagian dari iman). Hadis itu diperuntukkan untuk memiliki rasa malu terhadap hal-hal yang berkonotasi ‘negative’. Contoh, malu merampok, malu kalau berputus asa, malu kalau masih terus menerus menyusahkan kedua orang tua, malu berbuat munkar dan lain sebagainya. Jadi, jangan salah kaprahkan makna dari hadis tersebut dan menjadikannya sebagai penghambat untuk memulai pijakan langkah kesusksesan kita.

    Kang Rendy, Owner brand merk baju muslim KeKe mengatakan, “Kita jangan mau terus menerus menjadi konsumen, kita harus jadi produsen. Umat Islam di negri kita yang menjadi konsumen itu buanyak, tapi yang mau jadi penjual(pedagang) dan pengusaha itu sedikit sekali, kenapa? Karena umat Islam di indonesia malu untuk terlihat ‘seperti orang susah’ dalam proses ‘menjadi orang super kaya dan muslim yang pemberdaya’. Mereka malu, tapi malu-maluin. ”
    Muslim Pemberdaya

    Tidak ada dalam istilah kamus umat Islam itu ‘menyerah’ atau ‘gagal’, menyerah berarti kita tidak bersyukur, tidak bersyukur berarti kita kufur, dalam surat An-Naml ayat 73 Allah menyebutkan Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai karunia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri (nya). Dalam ayat yang lain Allah juga menyebutkan, “Apabila kamu sekalian bersyukur, maka akan kami tambahkan nikmat kepadamu. Akan tetapi apabila kamu kufur, ketahuilah sesunggauhnya adzab-Ku sungguh pedih.”

    Gagal bukan berarti kita terpuruk selamanya, tidak memiliki harapan dan tujuan hidup lagi, kita sudah benar-benar lumpuh untuk melangkah atau semacamnya. Itu semua salah! Jangan pernah doktrin tubuh dan pikiran kita dengan kata-kata ‘gagal’ katakanlah bahwa ‘kita memiliki kesuksesan yang sedang tertunda timing-nya’. Yakinlah pada Allah. Allah saja berjanji, laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim(Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya) QS. At-Tiin : 4. Jadi kita ini sudah dilahirkan sebagai ‘sang maestro’, belum lahir saja kita adalah sang pemenang yang telah mengalahkan berjuta sel sperma lain yang saling berlomba untuk mencapai sel indung telur dan menjadi ‘manusia terpilih’, jadi jangan bilang kalau kita terlahir sia-sia, nggak berguna atau nggak berpotensi, kalau boleh saya usulkan, orang-orang seperti ini buang ke laut aje. Dunia sudah sempit, akankah kita akan menyesaki dunia dengan ‘pesimistis’ lainnya? Jelas tidak! Karena saya, anda dan kita semua adalah muslim pemberdaya. Muslim yang memberdayakan, yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi agama dan bangsa. InsyaAllah.  

    Salam sukses!

  3. Waiting List

    Selasa, 19 Agustus 2014

    Seorang teman berbagi kisahnya pada saya.

    Ini perenungan sederhana dari perjalanan takziyah saya dan kawan-kawan dari rumah guru saya di daerah Bantul. Hari itu entah kenapa cuaca terasa sangat panas, AC mobil yang kami tumpangi nampaknya masih belum mampu menghalau terpaan panas yang memantul ke kaca mobil kami. Peluh mulai membasahi dahi dan pelipis saya, jujur saja, saya merasakan baru kali ini cuaca sepanas ini. Beberapa teman yang lain sibuk untuk mendinginkan tubuhnya, mulai dari kipas-kipas dengan benda yang ditemui disekitarnya, hingga mengelap mukanya dengan tissue yang telah dibasahi air. "Wah gini aja gue udah nggak betah gara-gara panas, gak kebayang juga nih di neraka panasnya bakal kayak apa yah." Celetuk seorang teman saya, dan entah kenapa kata-kata itu justru terus-menerus terngiang sepanjang sisa perjalanan. Ya, di kepala saya hanya berputar-putar ucapan teman saya tadi. Bagaimana jika di neraka nanti? Na'udzubillahi min dzalik.

    Karena adzan Asar berkumandang ketika perjalanan pulang, kami memutuskan untuk berhenti dan shalat terlebih dahulu di sebuah musholla pinggir jalan. Karena kondisi musholla yang kurang memadai, akhirnya kami memutuskan untuk membagi menjadi dua kloter. Saya yang sudah menyelesaikan kloter pertama sambil menunggu yang sedang shalat, duduk bersantai di emperan musholla. Tak terasa pandangan saya menerawang ke arah jalan yang lengan. 

    BRAKKK!!!

    Sontak kami semua menoleh ke asal suara. Betapa terkejutnya kami melihat seorang ibu yang sudah sepuh tergeletak di jalan raya, sedangkan seorang perempuan muda tergeletak juga bersama motornya tidak jauh dari tempat ibu tadi. Astaghfirullahal'adzim, kecelakaan. Si ibu pingsan, sedangkan wanita tadi masih bisa bangun dari motor meskipun tertatih-tatih.
    "Ya Allah Ibuuu...!!!" perempuan umur 30-an memeluk ibunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Orang-orang mulai berkerumun, kok ya kebetulan sekali hanya mobil kami yang ada di pinggir jalan itu, akhirnya rekan saya mengambil inisiatif untuk mengantar si ibu ke IGD, saya ikut serta mengantar di dalam mobil. Mau tidak mau, akhirnya saya mendengarkan juga percakapan antara anak si ibu dan wanita yang menabrak tadi.
    "Mbak gimana sih kok nggak hati-hati tadi, nggak lihat ibu saya lagi nyebrang apa?!"
    "Maaf bu, tadi saya keburu mau ke kampus, lagipula tadi ibu jenengan tidak menoleh kanan kiri, beliau tadi langsung lari..."
    "Ya kan ibu saya sudah tua, mbok ya pelan-pelan, nggak mungkin ketabrak kalau mbak nggak ngebut kayak tadi!" si anak korban masih saja ngotot dan menyalahkan. 
    Teman saya mencoba menengahi, karena mbak yang menabrak terus menerus dipojokkan. Dia mengajak semua yang di mobil untuk ber-istighfar karena kondisi ibu sepuh tadi tidak juga sadarkan diri, bahkan mulai keluar darah dari hidung dan telinganya. Rabbii...

    Pecah tangisan pilu dari ruang IGD. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun.
    Saya menghela nafas, ah sebenarnya tidak ada satu pihak pun yang dapat disalahkan sepenuhnya. Ibu sepuh tadi salah karena menyebrang tanpa tengok kanan dan kiri, sedangkan mbak yang menabrak juga salah karena melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi semua itu sudah diskenariokan oleh Allah. Sudah dituliskan dengan rapi bahkan sebelum si ibu sepuh itu lahir ke dunia di Lauhul mahfudz. Saya kembali terngiang celetukan teman saat berangkat tadi,  "Wah gini aja gue udah nggak betah gara-gara panas, gak kebayang juga nih di neraka panasnya bakal kayak apa yah." Saya merinding sendiri, ya Allah semoga ibu yang meninggal barusan Kau tempatkan di tempat terbaik-Mu.

    Saya teringat sebuah kutipan ayat,“Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan dan mendahulukannya sedetikpun,”[QS. An-Nahl: 61]." Ya memang benar, kita tidak bisa menerka kapan dan dimana kita akan menyelesaikan persinggahan sementara kita di dunia. Kita semua sedang menunggu waiting list kematian yang entah kapan datangnya. Sangat bijaksana jika kita selalu berusaha untuk mempersiapkan giliran yang pastinya akan sampai pada diri kita juga, dan pastinya bagaimana kualitas ibadah dan persiapan kita di dunia kini, kelak menentukan di mana 'rumah keabadian' yang akan kita tempati. Wallahu a'lam bish shawab.

    Salam sukses!
    *Seperti dituturkan oleh nara sumber dengan perubahan seperlunya.