Rss Feed
  1. Don't Judge

    Jumat, 21 November 2014


    Ungkapan "Don't judge from its cover" sedianya ada benarnya. 

    Saya memiliki seorang murid. Sekilas jika dilihat, anak itu baik-baik saja bahkan cenderung pasif. Tidak banyak hal yang saya ketahui tentang dia. Setau saya, dia adalah putri tertua seorang pengusaha kaya, anak yang penurut, prestasi oke, tidak pernah bermasalah, pokoknya serba baik lah, kecuali mungkin kekurangnnya hanya satu, anak itu sangat pendiam.

    Hingga suatu hari ada suatu hal mengejutkan saya terjadi. Ketika sedang menyetorkan hafalan al-Qur'an, tiba-tiba anak ini menangis. Awalnya terisak, lama-kelamaan semakin keras. Teman-temannya mengira dirinya menangis karena setoran hafalannya tidak lancar. Tapi saya merasakan ada hal lain yang menyebabkan dirinya menangis sampai seperti itu. Saya menunggu sampai tangisnya reda.

    Setelah didesak, akhirnya murid saya ini mau bercerita. Betapa mengejutkan, anak yang menurut saya sempurna ini ternyata hidup ditengah ayah-ibu yang sering bertengkar. Ayahnya yang pengusaha itu memiliki WIL(Wanita Idaman Lain). Bahkan, dia pernah melihat ayahnya bertemu wanita itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya. Ah, itulah mengapa anak ini sangat pendiam. Dibalik prestasinya yang melejit, dia menyimpan tekanan yang cukup mendalam. 

    Dari kejadian hari itu saya merenung. Ternyata memang kita tidak bisa menjustifikasi seseorang begitu saja padahal kita belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dalam agama Islam, hal ini disebut dengan tabayyun. Mengkroscek ulang kembali. Belum tentu, ketika seseorang itu terlihat baik luarnya, dalamnya pun begitu. Dan belum tentu ketika seseorang terlihat 'kurang' di mata kita, dalamnya pun begitu. Sebelum kita benar-benar tahu, sebisa mungkin untuk tidak men-judge nya. Dan meskipun hal itu benar adanya, jangan pula kita membenarkan anggapan kita. Tetap berusaha dalam khusnudzan(berprasangka baik) terhadap semua orang di sekitar kita. Mau jahat atau baik. Mau hebat atau lemah. Mau kaya atau miskin. Jangan menjustifikasi. Karena kita tidak pernah tahu, mungkin dia yang dulu jahat nantinya akan menjadi baik. Pun sebaliknya. Tidak ada jaminan orang yang baik, akan baik selamanya. Dia yang terlihat menyeramkan dari luar, mungkin ternyata memiliki hati sejernih Abu Bakar r.a. Orang yang terlihat sangat baik dan terpelajar, belum tentu hati dan kepribadiannya juga baik. Yang perlu kita garis bawahi, ketika seseorang dijustifikasi, itu hanya akan menyisakan segores luka mendalam dalam hatinya. Mau itu benar atau salah. Hanya Allah yang berhak menilai, dan Dia pula yang mampu membolak-balik hati dan paling mengerti apa yang terdetik dalam hati manusia. Wallahu a'lam bish shawab.

    Salam Sukses!


  2. Seringkali seorang ibu yang melihat anaknya bertengkar dengan saudaranya atau teman sepermainannya menasehati agar anaknya mudqah memaafkan orang lain. Memaafkan, dan melupakan. Anggap saja itu pertikaian kecil diantara kalian berdua gara-gara memperebutkan mainan. Ya, dan biasanya tidak lama kemudian anak-anak itu sudah saling tertawa kembali.

    Lucunya, justru terkadang ibu itu sendiri dan kebanyakan orang dewasa lainnya masih sangat susah untuk melafadzkan kata 'maaf', meskipun untuk mendiktekan di dalam hati. Realitanya seperti itu bukan?
    Kita orang dewasa terkadang masih susah untuk bersikap 'dewasa'. Bukan karena kita tidak bisa memaafkan, tapi kitanya yang tidak mau. Kita menganggap bahwa diri kitalah yang paling benar, orang lain salah. Atau ungkapan-ungkapan seperti, dia yang salah kenapa aku harus memaafkan? Kesalahan dia sudah tidak bisa ditolelir, tidak bisa dimaafkan!
    Ah, kalau masih seperti itu berarti kita bisa dibilang orang dewasa yang masih berfikir kekanak-kanakan. Anak kecil saja mampu untuk memaafkan, mengapa kita tidak?

    Marilah kita buang sedikit ego yang bercokol di hati kita. Memaafkan itu melapangkan hati. Memaafkan itu bukan berarti kalah, justru andalah orang yang menang karena mampu mengalahkan ego. Memaafkan itu menentramkan. Memaafkan itu ciri muslim pemberdaya. Memaafkan itu membersihkan hati dan jiwa. Percayalah. Yuk, belajar saling memaafkan. 

    Salam Sukses!

  3. Legal dan Ilegal Relationship

    Jumat, 07 November 2014


    "Duhai kawan aku punya cerita
     Kisah tentang dua anak manusia
     Yang terhunjam sebatang panah asmara
     Kemudian mendapat hidayah Rabb-Nya
     Keduanya kini harus memilih
     Antara sahabat dan Rabb-Nya terkasih
     Sahabat lama-pun kini ditinggalkan
     Cinta suci hanyalah milik Tuhan"


     Ini adalah sepenggal lagu dari terjemahan "Aduh Segere" yang saya hafalkan ketika masih duduk di bangku  SD dulu. Mungkin ada yang berfikir, wah lagunya kok ber-genre cinta sudah diajarkan ke anak SD ya?  okelah kita tidak akan membahas itu dan saya belum mengerti mengapa guru kesenian saya mengajarkan  lagu itu. Tapi mari kita lihat dari sisi maknanya. 

     Banyak kita temui realita ditengah lingkungan, khususnya ditengah lingkungan aktivis atau bahkan akademisi  kampus yang awalnya  hanya sekedar teman, sahabat baik kemudian timbullah benih-benih asmara diantara  keduanya. Tidak dapat  dipungkiri, intensitas komunikasi, pertemuan dan kerja lapangan serta bakti sosial  berperan kuat untuk  melahirkan benih-benih ini. Lalu, apakah hubungan dan perasaan ini dilegalkan begitu  saja?

     Jawabannya adalah bisa IYA bisa juga TIDAK. Hubungan dan perasaan ini menjadi legal jika anda siap  mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah dalam ikatan pernikahan. Dan sebaliknya, hubungan ini  akan menjadi ilegal jika anda tidak ingin berkomitmen serta bertanggung jawab dan hanya ingin bermain-  main dengan dosa saja. Ya pilihannya hanya sesimple itu, mau legal harus bertanggung jawab. Jika masih  belum mampu, menahan serta menjaga diri itu lebih utama.

     Salam sukses!